Saturday, March 8, 2014

Budaya Minum Kopi di Indonesia



Menikmati secangkir kopi menjadi tradisi dibeberapa negara belahan dunia termasuk Indonesia. Menikmatinya tidak terbatas ruang dan waktu tanpa mengurangi rasanya. Meski rasanya pahit, namun manusia tidak bisa lepas dari minuman bubuk hitam yang sudah digemari sejak dulu.

Khusus di Indonesia, tradisi minum kopi sampai di Jawa sejak tahun 1616 dibawa Admiral Pieter Van den Broeke (Belanda) yang mendapat tugas untuk berdagang dengan bangsa Arab di Laut Merah. Kini budaya minum kopi sudah tertanam di masyarakat Indonesia.

Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa terutama Yogyakarta, Medan sampai Makassar memiliki cara tersendiri untuk menikmati kopi dengan jenis berbeda.  Mulai ujung Sumatera hingga ujung Papua tercipta kopi yang berbhinneka rasanya.  Kopi istimewa itu antara lain Aceh Gayo, Sumatra Mandhailing, Lintong, Sidikalang, Java Ijen, Java Raung, Kintamani, Bajawa Flores, Robusta Lampung, Toraja, hingga Kopi Papua yang dihasilkan petani di Wamena. Namun, semuanya tetap memberi kehangatan dan kenikmatan.

Masyarakat Aceh tidak dapat dipisahkan dari kopi. Karena itulah, kedai kopi akan banyak kita temui di berbagai pelosok negeri berjuluk Serambi Mekkah ini. Baik siang maupun malam, berbagai lapisan masyarakat di Aceh mengisi kedai-kedai kopi untuk bersantai minum kopi.

Kopi Tubruk Asli Indonesia

 
Tidak terbatas dari yang muda hingga yang tua, pria maupun wanita, miskin maupun kaya, semua berbaur tanpa sekat-sekat pembatas. Bisa dikatakan, kopi ibarat nafas bagi orang Aceh yang sulit dipisahkan dari kehidupan sehari-hari mereka sejak zaman kesultanan Aceh.


Sampai saat ini yang masih terlihat kental tradisi meminum kopi terlihat di Aceh dan Yogyakarta tanpa menyingkirkan tradisi di daerah lain. Rasa dan kekentalan kopi arabika yang dihasilkan lebih 'nendang' dibandingkan kopi di Jawa dan bisa diklaim menyamai rasa kopi di gerai ternama yang ada di dunia. Masyarakat setempat seperti tidak mengenal waktu untuk meneguk dan sesekali bersantap camilan yang disediakan mulai 'timpa' sampai aneka gorengan. Bisa dikatakan dari pagi ke pagi hari lagi, warung kopi akan selalu ramai. Bahkan, satu cangkir kopi kira- kira 200 cc per porsinya itu baru habis berjam-jam sambil mengobrol atau membaca koran.

Keunikan lainnya, kopi akan disaring terlebih dahulu sebelum disajikan para penikmatnya. Saat ini, keberadaan warung kopi tidak hanya menjadi tempat pengusir rasa kantuk, namun berubah menjadi fungsi sosial dan tempat bertukar informasi. Tidak mengherankan keberadaan kedai kopi aceh ini berkembang di kota lain bahkan ditawarkan dengan sistem waralaba sehingga penikmat tidak perlu terbang jauh ke negeri serambi makkah ini.

Cara unik menikmati kopi lainnya ada di Yogyakarta dan terkenal dengan nama 'Kopi Joss'. Kopi Joss adalah kopi tubruk panas yang diberi arang membara. Begitu arang di masukkan ke dalam cangkir maka kopi akan mengeluarkan suara ‘josss’ yang kencang sehingga terciptalah nama kopi tersebut. Hasilnya? para penikmat akan mendapatkan segelas kopi yang panasnya awet, dan rasanya sangat mantap. Menurut penelitian mahasiwa Universitas Gadjah Mada, Kopi Joss ini aman untuk dikonsumsi lantaran kadar kafein Kopi Joss telah dinetralisir oleh arang. Sama seperti menikmati kopi di Aceh, minuman ini bisa dijumpai di semua angkringan sudut kota Yogyakarta.

Sekilas cara menikmati kopi joss merupakan perpaduan kopi tubruk dengan memasukkan arang menyala yang menimbulkan sensasi tersendiri. Kopi tubruk sendiri konon berasal dari bahasa Jawa yang artinya tabrak atau menabrak. Karena komposisinya yang sederhana, seperti (gula), kopi murni, dan air panas mendidih yang saling bertabrakan dalam gelas dengan sendok adukannya. Namun jangan ditanya nikmatnya. Aroma kopi tubruk tak kalah dengan kopi luar negri yang disajikan di lapak kopi dengan harga berlipat dan jauh lebih mahal. Tak salah, ini yang membuat warung kopi tradisional tak pernah sepi dari penggemar kopi yang ingin menikmati aroma wangi dan rasa khasnya. Kopi jenis ini memiliki kesamaan dengan kopi dari Turki dan Yunani dalam kepekatannya. Sedangkan resep dari kopi tubruk ini dibawa oleh pedagang dari Timur Tengah ke Indonesia. Di Timur Tengah tubruk ini dikenal sebagai 'kopi lumpur'.



Apabila ditunjang dengan sistem pemasaran atau distribusi yang baik, bukan tidak mungkin kopi asli ini bisa bersanding di seluruh warung kopi di Aceh sampai 'bakul' angkringan di Yogyakarta untuk diseruput. Bahkan, bisa memberi kesempatan masyarakat di negara lain terutama yang memiliki tradisi 'ngopi' mencoba kenikmatan kopi asal Indonesia yang sudah kondang aroma, rasa serta kenikmatannya. Dengan sendirinya, tradisi yang terkandung dalam secangkir kopi tubruk tetap terjaga.


Sumber:
http://www.indonesiakaya.com/kanal/detail/tradisi-minum-kopi-yang-menjadi-gaya-hidup-di-aceh
http://tourismnews.co.id/category/cafe-club/bondan-winarno--budaya-minum-kopi-di-indonesia-masih-rendah